Rabu, 11 November 2009

selamat datang di blog saya......!!!



Valentine
 
heart on handBanyak orang mengatakan bahwa antara cinta dan benci itu tipis batasnya seperti mata uang yang bersebelahan. Rasa cinta seringkali berbanding lurus dengan rasa benci.Rasa cinta yang sedikit akan memunculkan rasa benci yang sedikit pula jika disakiti. Demikian pula sebaliknya, rasa cinta yang besar akan memunculkan rasa benci yang besar jika disakiti.
Pernah seorang sahabat mengatakan,”Cinta kok dibahas!”. Tetapi apakah ada hal lain yang bisa mengalahkan kedahsyatan cinta yang tidak habis-habisnya dibahas dan di ekspresikan dalam berbagai bentuk ini? Maka berbicara tentang cinta sebenarnya bukan persoalan romantisme laki-laki dan perempuan tetapi lebih kepada hidup itu sendiri.
Bulan Pebruari selalu diidentikkan dengan bulan cinta. Ini memang serangan budaya yang besar yang tidak terbendung. Kisah St. Valentine telah sedemikian rupa menginspirasi meskipun sayang bahwa komodifikasi untuk  moment ini bisa membelokkan makna yang hakiki dari apa yang diinspirasikan oleh St. Valentine tersebut.

Sejarah Valentine

Hari Valentine pada awalnya merupakan budaya Roma yang kemudian diikuti oleh hampir seluruh dunia. Ada versi yang bermacam-macam tentang sejarah asal hari Valentine. Salah satu versi mencatat bahwa perayaan ini berawal dari sebuah festival bangsa Roma yang di sebut Lupercalis pada tanggal 15 Pebruari untuk memuja Lupercus dewa pelindung tanaman obat dan hasil bumi. Sehari sebelumnya adalah hari untuk menghormati Juno yaitu Dewi Para Perempuan dan Perkawinan. Kedua festival ini dipakai untuk memohonkan kesehatan yang baik dan kesuburan bagi mereka serta ternak-ternak mereka.
Ketika bangsa Roma menjadi Kristen, para rohaniwan kemudian menggunakan tanggal 14 Pebruari sebagai hari kasih sayang untuk memperingati 2 tokoh. Tokoh yang pertama yaitu Valentino yang dihukum mati kaisar Claudius II pada tanggal 14 Pebruari 270 karena Valentino menikahi seorang gadis. Padahal menurut Claudius, bala tentaranya akan makin besar dan kuat jika orang-orangnya tidak menikah. Tokoh yang kedua adalah seorang Bishop dari Terni. Saat itu Valentine bersama dengan Marius dan para martir menikahkan pasangan Romawi secara sembunyi-sembunyi. Akhirnya setelah diketahui oleh penguasa Roma, Valentine dihukum dengan dipukuli tongkat sampai mati dan dipenggal kepalanya pada tanggal 14 Pebruari. Kedua martir ini kemudian diberi gelar Santo (orang suci) karena pengorbananya dan disebut sebagai Santo pelindung bagi pasangan yang sedang jatuh cinta. Untuk mengenang jasa dan pengorbanan Santo Valentine serta menghormati tradisi rakyat, para Pastor Romawi menentukan tanggal 14 Pebruari sebagai Hari Santo Valentine yang dirayakan dengan misa. (Rajawali, Thn XI no.02, 2003:h.16-17).

Hari Valentine di masa kini

Seperti yang sudah disebutkan di atas bahwa pada awalnya, perayaan mengenang Santo Valentine ini dilakukan dalam Misa namun pada perkembangannya setelah perayaan ini diterima oleh dunia secara luas, nampaknya ada kemerosotan makna. Apalagi ditambah dengan warna bisnis di dalam perayaan ini bahkan perayaan ini dipakai secara salah oleh sebagian muda-mudi yang tidak benar-benar memahami secara mendalam makna Hari Valentine.  Sehingga banyak orang merayakannya dengan menggelar pesta-pesta di hotel-hotel, café-café, diskotek dan lain sebagainya untuk hura-hura dan berburu cinta.
Tetapi semoga perayaan Valentine yang dilakukan oleh orang-orang muda kita di GKJW jauh dari komodifikasi moment ini. Meskipun perlu tidaknya Valentine dirayakan bisa menjadi pembahasan tersendiri, tetapi saya tidak ingin “memerangi” perayaan Valentine yang dilakukan oleh teman-teman muda kita dalam peribadahan.

Merayakan Cinta

Dalam keyakinan kita bahwa Tuhan adalah kasih dan selalu bertindak berdasarkan kasih-Nya (Saya sengaja tidak membedakan kata kasih/sayang dan cinta untuk memudahkan kita). Kasih itu diekspresikan dalam berbagai bentuk, yang dicatat Alkitab diantaranya adalah tindakan penyembuhan orang sakit, membangkitkan orang mati, menemani orang yang disingkirkan, merangkul orang-orang yang dianggap berdosa agar kembali kepada yang baik, dan seterusnya. Puncak ekspresi kasih Tuhan itu adalah kematianNya untuk manusia dan alam semesta. Kemudian setelah kebangkitanNya, pengikutnya ditugaskan untuk menyebarkan, mengabarkan dan bertindak kasih bagi sesama dan alam semesta.
Hari Valentine yang dirayakan orang Kristen atau siapapun, tentunya harus dalam pandangan yang lebih luas. Tidak hanya berkenaan antara laki-laki dan perempuan yang sedang jatuh cinta tetapi kasih sayang untuk banyak orang. Kasih sayang untuk masyarakat yang tentunya tidak hanya dilakukan pada tanggal 14 Pebruari, tetapi bolehlah 14 Pebruari itu dipakai untuk menyegarkan kembali dan mengingatkan tugas dan tanggung jawab kepada sesama dan alam semesta itu. Lalu menjadi motivasi untuk melanjutkan terus tindakan kasih.
Hari Valentine memang dipakai untuk merayakan cinta/kasih sayang. Kasih sayang untuk banyak orang dan tidak terkecuali untuk keluarga kita, bapak dan ibu kita.Kasih itu perlu diekspresikan. Mulai dari ekpresi yang paling primitif semacam senyum dan tatapan mata atau ekspresi simbolis semacam berkirim bunga, kartu ucapan atau makanan hingga ekspresi paling mutakhir yaitu tulisan dan kata-kata yang diucapkan.
Suatu kali saya mendengarkan Golden Ways-nya Mario Teguh. Sayangnya saya lupa kapan dan temanya apa. Salah satu pemirsa menanyakan demikian: “Bagaimana cara mengungkapkan rasa cinta kepada ibu kita?” .Mario Teguh lalu menyuruh penanya tersebut untuk menirukan kata-katanya. Kalimat yang diucapkan adalah, “Saya Cinta Ibu!”.  Saya memaknai apa yang saya lihat dan Mario Teguh benar. Mengungkapkan rasa cinta itu sederhana saja. Tetapi pada kenyataannya, betapa sulit bagi sebagian kita mengatakan kepada ibu, “Saya Cinta Ibu!” Lalu mencium dan memeluknya.Padahal ibu kita sangat istimewa dalam hidup kita, bukan? Ibu kita pasti sangat terharu mendengar kata tersebut. Tetapi sayang, seringkali niatan untuk mengatakannya  ada tetapi kata-kata itu tercekat di tenggorokan, amat sulit dikeluarkan bahkan bisa sampai terlambat diucapkan.Seperti cerita yang dikisahkan seorang Bhikkuni di salah satu TV milik komunitas agama Budha di Malang. Beliau bercerita tentang seorang ibu yang banting tulang menghidupi tiga orang anaknya sampai mereka mandiri dan tidak lagi tinggal bersama ibu mereka. Dalam kesendirian ia sering berharap bisa mendengar anak-anaknya mengatakan kata cinta kepadanya.Namun tidak juga terdengar kata itu dari mulut anak-anaknya dari mulai mereka dihidupinya hingga telah mandiri. Akhirnya, suatu saat ia jatuh sakit parah tidak mampu lagi merespon apa-apa dan akan segera menemui ajal. Anak-anaknya yang selama ini dihidupi merasa begitu sedih, mereka datang menjenguk dan memeluk ibu mereka sambil berbisik di telinga ibu yang sekarat ini,”Kami Cinta Ibu!”. Tetapi sang ibu sudah tidak lagi bisa merespon ungkapan cinta itu, sudah tidak bisa lagi tersenyum atau menangis mendengarnya. Kata itu terlambat diucapkan. Dan mereka menyesalinya seumur hidup.
Demikianlah ungkapan cinta dalam kata-kata bagi orang tua kita memang amat sulit diungkapkan. Mungkin karena budaya kita yang lebih baik memendam rasa. Tapi coba anda tanyakan kepada orang yang sedang jatuh cinta, pasti lebih mudah dan lebih niat mengatakan cinta kepada orang yang diincar daripada kepada ibu mereka.
Amat menarik jika teman-teman muda merayakan Hari Valentine kali ini dengan mengajak bapak dan ibu dalam perayaannya. Ungkapkan kasih sayang kepada mereka dan sediakan acara khusus untuk orang tua kalian di perayaan itu. Pasti perayaan itu akan menjadi kenangan yang indah bagi teman-teman dan terlebih bagi bapak-ibu kalian yang akan diingat seumur hidup. Lalu lihatlah dampak yang akan terjadi kemudian dalam hubungan kalian dengan orang tua!
Ekspresi rasa cinta tentu tidak hanya dalam bentuk kata-kata.Ada ekspresi lain yang  juga bermakna cinta seperti yang dicontohkan oleh panutan iman kita. Apapun bentuknya, selama ekspresi itu memberi daya hidup maka cinta sedang dirayakan.
Ekspresi rasa cinta diperlukan setiap saat dan diperhadapkan terus pada tantangan-tantangan. Terlebih saat ini dimana kemarahan, keputusasaan, hasrat membunuh, kekecewaan, ketidakberdayaan dan ketakutan begitu kuatnya menggerogoti hidup manusia. Di sisi lain, di tengah pergumulan itu manusia dipanggil untuk mengekspresikan rasa cinta bagi sesama untuk memberi daya hidup. Tugas ini terlebih bagi orang-orang yang percaya bahwa Tuhan bahkan rela mati demi cintaNya kepada manusia dan alam semesta.

ABORSI MENURUT PANDANGAN AGAMA BUDDHA

Oleh:

Bhikkhu Bhadraguna


Peristiwa aborsi memang ada di sepanjang sejarah manusia. Sesungguhnya di mana ada orang yang ingin hamil maka di tempat yang sama juga ada kehamilan yang tidak diinginkan. Banyaknya kasus aborsi di kalangan remaja saat ini yang berakibat merenggut nyawa menunjukkan pendidikan seks bagi remaja sudah saatnya dipikirkan.

Mencermati kasus ini memang dibutuhkan pemikiran jernih. Sejauh ini masyarakat khususnya kalangan remaja intelektual tergesa-gesa dalam menyimpulkan kasus aborsi hanya dilakukan karena pergaulan bebasdan mengutuk perilaku sang pelaku tanpa mempertimbangkan faktor-faktor lain yang ada di dalamnya. Kenyataannya ada kesenjangan antara respons masyarakat yang kebanyakan bernada tunggal tersebut dengan realita yang terjadi.

Dari fakta hasil penelitian selama ini jelas salah kalau kita menganggap bahwa kehamilan yang tidak dikehendaki selalu dihubungkan dengan akibat pergaulan bebas apalagi kalau berpikir bahwa itu hanya terjadi pada remaja. Padahal masih banyak sikap-sikap di masyarakat kita sendiriyang mendorong perempuan untuk terpaksa melakukan aborsi. Sikap yang ditanamkan sesungguhnya memang mempunyai latar belakang yang berbeda seperti :

a) Keluarga yang tidak siap karena memiliki ekonomi pas-pasan sehingga cenderung bersikap menolak kelahiran anak.

b) Masyarakat cenderung menyisihkan dan menyudutkan wanita yang hamil di luar nikah. Wanita selalu disalahkan, tidak ditolong atau dibesarkan jiwanya tetapi malah ditekan dan disudutkan sehingga dalam reaksinya wanita tersebut akan melalukan aborsi.

c) Ada aturan perusahaan yang tidak memperbolehkan karyawatinya hamil (meskipun punya suami) selama dalam kontrak dan kalau ketahuan hamil akan dihentikan dari pekerjaannya.

d) Pergaulan yang sangat bebas bagi remaja yang masih duduk di bangku sekolah, misal SMA, mengakibatkan kecelakaan dan membuahkan kehamilan. Karena merasa malu, dengan teman-temannya, takut kalau kesempatan belajarnya terhenti dan barangkali masa depannya pun menjadi buruk.
Ditambah dengan tekanan masyarakat yang menyisihkan sehingga akhirnya ia melakukan aborsi supaya tetap eksistensi di masyarakat dan dapat melanjutkan sekolah.

e) Dari segi medis diketahui umur reproduksi sehat antara 20-35 tahun. Bila seorang wanita hamil di luar batasan umur itu akan masuk dalam kriteria risiko tinggi. Batasan ini sering menakutkan, sehingga perempuanyang mengalaminya lebih menjurus menolak kehamilanya dan ujung-ujungnya akan melakukan aborsi.

f) Pandangan sebagian orang bahwa tanda-tanda kehidupan janin antara lain adanya detak jantung yakni umur sekitar tiga bulan. Maka hal ini akan memicu seorang wanita yang mengalami suatu masalah akan melakukan aborsi dengan alasan usia bayi belum sampai 3 bulan.

g) Praktik aborsi adalah fenomena yang timbul karena perubahan nilai di masyarakat. Sama halnya dengan praktik pelacuran, praktik aborsi tidak dapat diantisipasi dengan hanya bentuk pelarangan semata.

h) Selama ini indikasi medis yang dipakai sebagai dasar bolehnya aborsi hanya didasarkan pada kesehatan badan/keselamatan jiwa dan mengabaikan konsep definisi kesehatan secara keseluruhan (sehat fisik, psikis dan sehat sosial). Padahal sebagaimana tercantum dalam UU Kesehatan No. 23 Tahun 1992 yang dimaksud dengan kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Sementara itu dalam RUU Kesehatan tentang aborsi terdapat pada pasal 60 ayat 1 dan 2 yang menyebutkan pemerintah berkewajiban melindungi kaum perempuan dari praktik pengguguran kandungan yang tidak bermutu, tidak aman dan tidak bertanggungjawab melalui perundang-undangan. Dalam ayat 2 dijelaskan pengguguran kandungan yang tidak bermutu antara lain di lakukan tenaga kerja tidak profesional dan dilakukan tanpa mengikuti standar profesi yang berlaku.

Dalam pasal itu terlihat bahwa pembatasan aborsi hanya pada upaya-upaya praktik aborsi oleh tenaga non medik seperti melalui dukun, obat-obat tradisional, sementara batasan-batasan mengenai syaratdan kondisi seseorang diperbolehkan melakukan aborsi sama sekali tidak dibahas. Dengan kata lain seseorang diperkenankan melakukan aborsi (dengan alasan kesehatan badan/keselamatan jiwa) asalkan dilakukan oleh dokteryang profesional dengan fasilitas yang memadai dan ditunjuk oleh pemerintah.

Perlindungan terhadap kesehatan perempuan berkaitan dengan hak-hak reproduksinya pada dasarnya telah diatur dalam UU No.7 tahun 1984. Selain hak untuk mendapatkan perlindungandan pelayanan kesehatan, konvensi ini jelas menjamin hak-hak reproduksi perempuan. Antara lain hak untuk memutuskan kapan dan akankah perempuan mempunyai anak. Dengan demikian konvensi ini memberi peluang bagi perempuan untuk malakukan aborsi sebagai pilihan bebas menyangkut hak-hak reproduksinya. Baik dalam keputusan-keputusan di pengadilan maupun dalam pembelaan menyangkut soal perempuan konvensi ini jarang digunakan sebagai bahan pertimbangan. Sebab sistem hukumyang ada sama sekali tidak sensitif gender dan cenderung mengabaikan kepentingan perempuan.

Apakah melakukan aborsi berarti melakukan pembunuhan? Seringkali pertanyaan ini menjadi bahan perdebatan dari berbagai sudut pengetahuan.

Dalam masalah aborsi pandangan medis maupun agama yang dikembangkan di masyarakat adalah satu, aborsi identik dengan pembunuhan. Inilah yang kemudian diadopsi di dalam substansi hukum sebagaimana yang diatur lewat KUHP. Dalam pandangan medis abortus yang diperbolehkan adalah abortus berdasarkan indikasi medis (abortus artificialis therapicus) selebihnya aborsi yang dilakukan tanpa indikasi medis dikategorikan sebagai abortus kriminal (abortus provocatus criminalis).

Dalam pandangan agama Buddha aborsi adalah suatu tindakan pengguguran kandungan atau membunuh makhluk hidup yang sudah ada dalam rahim seorang ibu.

Syarat yang harus dipenuhi terjadinya makhluk hidup :

a) Mata utuni hoti : masa subur seorang wanita
b) Mata pitaro hoti : terjadinya pertemuan sel telur dan sperma
c)Gandhabo paccuppatthito : adanya gandarwa, kesadaran penerusan dalam siklus kehidupan baru (pantisandhi-citta) kelanjutan dari kesadaran ajal (cuti citta),yang memiliki energi karma

Dari penjelasan diatas agama Buddha menentang dan tidak menyetujui adanya tindakan aborsi karena telah melanggar pancasila Buddhis, menyangkut sila pertama yaitu panatipata. Suatu pembunuhan telah terjadi bila terdapat lima faktor sebagai berikut :

a) Ada makhluk hidup (pano)
b) Mengetahui atau menyadari ada makhluk hidup (pannasanita)
c) Ada kehendak (cetana) untuk membunuh (vadhabacittam)
d) Melakukan pembunuhan ( upakkamo)
e) Makhluk itu mati karena tindakan pembunuhan ( tena maranam)

Apabila terdapat kelima faktor dalam suatu tindakan pembunuhan, maka telah terjadi pelanggaran sila pertama. Oleh karena itu sila berhubungan erat dengan karma maka pembunuhan ini akan berakibat burukyang berat atau ringannya tergantung pada kekuatan yang mendorongnya dan sasaran pembunuhan itu. Bukan hanya pelaku saja yang melakukan tindak pembunuhan, ibu sang bayi juga melakukan hal yang sama. Bagaimanapun mereka telah melakukan tindak kejahatan dan akan mendapatkan akibat di kemudian hari, baik dalam kehidupan sekarang maupun yang akan datang.

Dalam Majjhima Nikaya 135 Buddha bersabda "Seorang pria dan wanita yang membunuh makhluk hidup, kejam dan gemar memukul serta membunuh tanpa belas kasihan kepada makhluk hidup, akibat perbuatan yang telah dilakukannya itu ia akan dilahirkan kembali sebagai manusia di mana saja ia akan bertumimbal lahir, umurnya tidaklah akan panjang".

Bagi mereka yang menyediakan jasa aborsi tidak resmi dan ketahuan tentu akan mendapat ganjaran menurut hukum negara, setelah melalui proses peradilan berdasarkan bukti-bukti yang ada. Ini juga sebagai akibat dari perbuatan (karma) buruk yang dilakukan saat ini.

Hendaknya kasus aborsi yang sering terjadi menjadi pelajaran bagi semua pihak. Bagi para remaja tidak menyalahartikan cinta sehingga tidak melakukan perbuatan salah yang melanggar sila. Bagi pasangan yang sudah berumah tangga mengatur kelahiran dengan program yang ada dan bagi pihak-pihak lain yang terkait tidak mencari penghidupan dengan cara yang salah sehingga melanggar hukum, norma dan ajaran agama.

Mudah-mudahan masyarakat luas dan umat Buddha pada khususnya dapat memahami hal ini sehingga tidak terjerumus pada perbuatan buruk yang merugikan diri sendiri dan makhluk lain.

Sabbe Satta Bhavantu Sukkhitata - Semoga semua makhluk berbahagia




__________________


YO DHAMMAM DESESI ADIKALYANAM MAJJHEKALYANAM PARIYOSANAKALYANAM TI

Dhamma itu indah pada awalnya, indah pada pertengahannya dan indah pada akhirnya


Kamis, 02 April 2009

CINTA, PACARAN SEHAT DAN SEKS PRA NIKAH

DARI SUDUT PANDANGAN AGAMA BUDDHA

A. Makna Cinta

Bila orang mengatakan "Aku cinta padamu," maksud yang terkandung dibalik per-nyataan itu dapat bermacam-macam. Bagaimana anda sendiri mendefinisikan kata cinta itu?

Para peneliti telah mengidentifikasikan enam cara yang biasa digunakan orang untuk mendefinisikan kata Cinta (Lasswell & Lobsenz, 1980; Lee, 1983). Bentuk-bentuk cinta ini merupakan bentuk-bentuk yang murni; biasanya orang memberikan definisi yang merupakan kombinasi lebih dari satu bentuk murni.

Cinta Romantik, cinta yang ditandai oleh pengalaman-pengalaman emosional. Biasanya merupakan cinta pada pandangan pertama. Yang penting dalam bentuk cinta ini adalah adanya daya tarik jasmaniah. Orang-orang yang terlibat dalam bentuk cinta ini sepakat bahwa, "pada sentuhan pertamanya saya tahu bahwa cinta adalah sesuatu kemungkinan yang nyata."

Cinta Memiliki, orang yang terlibat dalam bentuk cinta ini merasakan pengalaman emosional yang kuat, mudah cemburu, sangat terobsesi pada orang yang dicinta. Orang-orang yang mengalami bentuk cinta ini biasanya sangat tergantung pada orang yang dicintai, oleh karena itu dia takut tersisih. Keterlibatannya sangat mudah berubah dari perasaan sangat bahagia sampai rasa putus asa. Menurut mereka, "bila kekasih saya tidak memberikan perhatiannya pada saya, saya merasa sakit."

Cinta Kawan Baik merupakan bentuk cinta yang mengutamakan keakraban yang menyenangkan. Cinta ini biasanya tumbuh perlahan-lahan dan dimulai dari sebuah persahabatan, saling berbagi dan mengungkapkan diri secara bertahap. Ciri-ciri dari bentuk cinta ini adalah sifatnya yang bijaksana, hangat, dan sarat dengan rasa persaudaraan. Orang-orang yang terlibat dalam bentuk cinta ini mengatakan, "cinta yang terbaik adalah cinta yang tumbuh dari sebuah persahabatan."

Cinta Pragmatik, menurut Lee, ini adalah "cinta yang menuntut adanya pasangan yang serasi dan hubungan yang berjalan baik, kedua pihak merasa betah berada di dalamnya dan dapat saling mernuaskan kebutuhan-kebutuhan dasar atau kebutuhan-kebutuhan praktis mereka" (1973, hal.124). Orang yang terlibat dalam cinta pragmatik sangat logis dan banyak pertimbangan dalam menentukan pasangan yang sesuai dengan dirinya, dan lebih senang mencari kepuasan daripada kegembiraan. Menurut mereka, "anda perlu merencanakan kehidupan Anda secara seksama sebelum memilih seorang kekasih"

Cinta Altruistik, ciri utama dari cinta ini adalah adanya perhatian, keinginan untuk selalu memberikan sesuatu, dan selalu siap memaafkan kesalahan pasangannya. Cinta diartikan sebagai suatu tugas yang harus dilakukan tanpa pamrih. Bentuk cinta ini diungkapkan melalui pengorbanan diri, kesabaran, dan rasa percaya terhadap orang yang dicintai. Menurut mereka, "saya mencoba menggunakan kekuatan saya sendiri untuk membantu kekasih saya melewati masa-masa sulitnya, bahkan pada saat dia bertindak bodoh."

Cinta Main-main, orang dapat memperlakukan cinta seperti memainkan sesuatu: untuk menikmati "permainan cinta" dan memenangkannya. Dalam bentuk cinta ini, yang paling penting adalah strategi, dan keterikatan biasanya dihindari. Orang yang terlibat dalam bentuk cinta ini biasanya memiliki lebih dari satu hubungan cinta pada satu saat. Tidak ada hubungan yang mampu bertahan lama, biasanya akan berakhir bila pasangannya mulai bosan atau menjadi terlalu serius. Menurut mereka "bagian yang menyenangkan dari cinta adalah menguji kemampuan seseorang untuk menjaga agar hubungan itu berjalan terus dan orang sekaligus mendapatkan apa yang diinginkannya."

Swensen (1972) bertanya pada sekelompok orang dari berbagai kelompok usia tentang perilaku apa saja yang mereka anggap mencerminkan cinta terhadap seseorang. Jawaban-jawaban yang diperoleh kemudian dikelompokkan dalam tujuh kategori atau bentuk perilaku cinta:

  1. Pernyataan verbal yang sarat dengan afeksi, misalnya dengan mengatakan ”Aku cinta padamu”
  2. Pengungkapan diri,
  3. Tanda-tanda cinta yang bukan dalam bentuk materi, misalnya menunjukkan rasa tertarik pada kegiatan-kegiatan pasangannya, menghargai pendapat-pendapatnya, atau memberikan dukungan semangat.
  4. Berkomunikasi secara non verbal seperti mengungkapkan rasa bahagia dan santai bila sedang berada bersama-sama.
  5. Tanda-tanda cinta yang berbentuk materi, seperti memberikan hadiah atau bantuan untuk mengerjakan tugas.
  6. Ekspresi fisik sebagai tanda cinta, seperti memeluk atau mencium.
  7. Menunjukkan keinginan untuk menenggang rasa terhadap pasangannya dan mau berkorban agar hubungan tetap berlanjut.

Cinta adalah sesuatu hal yang khas manusiawi, ada dalam diri setia manusia meski tidak semua manusia menyadari arti dan nilai-nilainya sehingga kadang manusia menyepelekannya atau menganggapnya sebagai kegombalan belaka (Rudi G., 2000: 112). Erich Fromm menjelaskan cinta (1962) dalam bukunya The Art of Love adalah suatu kekuatan aktif dalam diri manusia; suatu kekuatan yang mendobrak tembok pemisah antara seseorang dengan sesamanya dan menyatukannya; cinta adalah kekuatan yang sanggup mengatasi rasa keterasingan dan keterpisahan, tapi dengan tetrap membebaskan seseorang untuk tetap menjadi dirinya, untuk mempertahankan keutuhannya.

Ven. Visuddhacara dalam karyanya Loving and Dying diterbitkan oleh Malaysian Buddhist Meditation Centre yang didistribusikan secara cuma-cuma menjelaskan cinta adalah pengertian. Cinta tidak mengadili atau menyalahkan, cinta mendengarkan dan mengerti, cinta memperhatikan dan bersimpati, cinta menerima dan memaafkan, cinta tidak mengenal halangan-halangan, tidak membedakan dan berkata saya adalah seorang Theravada dan engkau adalah Mahayana atau Tibetan. Tidak mengatakan saya seorang Buddhis dan engkau adalah Kristen, Islam, atau Hindu. Atau saya seorang Cina, kamu orang orang Melayu, orang India, orang Eropa, atau juga saya orang Timur, dan kamu orang Barat, atau saya orang Malaysia, kamu orang Jepang, orang Amerika, orang Burma, orang Thailand dan seterusnya.

Cinta melampaui semua halangan-halangan, cinta melihat dan merasakan bahwa kita sama satu ras, yaitu ras manusia. Air mata kita sama-sama asin, dan darah kita semua merah. Saat ada cinta dan belas kasih seperti ini, kita dapat bersimpati dengan semua makhluk hidup lain. Kita dapat melihat bahwa kita semua berlayar dengan perahu yang sama dilautan kehidupan yang penuh badai. Kita menderita dalam samsara, dalam lingkaran kelahiran kematian yang tiada ujung pangkal. Kita adalah saudara.

Saat kita dapat melihat dan merasakan ini, maka perbedaan agama, ideologi, dan lain-lain akan hilang. Kita akan dapat memiliki hati yang penuh cinta suci, kita akan dapat merasakan penderitaan orang lain. Belas kasih akan memenuhi nafas kita dan dalam apapun yang kita lakukan cinta kasih dan belas kasih seperti ini akan muncul, menenteramkan, damai.

Cinta berkaitan dengan belas kasih. Jika kita mempunyai hati yang penuh cinta, belas kasib akan lebih mudah timbul. Saat kita melihat orang menderita, kita merasa ingin menghibur orang itu. Belas kasih mempunyai kualitas untuk mengurangi penderitaan. Ini dapat dirasakan secara khusus ketika bertindak spontan untuk mengurangi penderitaan orang lain.

Cinta kasih adalah bahasa hati, pada saat kita termotivasi oleh cinta dan belas kasih, kita menolong tanpa mendiskriminasikan ras, kepercayaan, kebangsaan orang lain. Dalam cahaya belas kasih, identifikasi ras, kepercayaan dan sebagainya menjadi tidak penting; tidak terlihat lebih jauh, cinta kasih semacam itu tidak terbatas pada manusia, tetapi dikembangkan lebih jauh pada makhluk hidup lain termasuk binatang, dan serangga.

Bahasa Cinta

Mahayana, Theravada, Vajrayana

Agama Kristen , Buddha, Islam, Hindu

Bangsa Melayu, Cina, India Bangsa Eropa

Malaysia, Jepang, Amerika, Afrika dan lain sebagainya

Sekarang apakah yang menjadi masalah?

Bahasa cinta adalah bahasa hati

ketika hati berbicara

ribuan bunga-bunga mekar

dan cinta mengalir bagaikan matahari pagi melalui jendela

Kata-kata tidak dibutuhkan

pandangan, sentuhan akan memenuhi

untuk mengatakan apa yang tidak terkatakan oleh ribuan kata-kata

Dan cinta bersinar

Seperti bintang memancar

Di malam hari

Perbedaan-perbedaan hancur

Prasangka-prasangka hilang

Keunggulan menggapai kembali

Cinta dan belas kasih

Menaklukkan semua rasa takut dan curiga

menyembuhkan luka

dimana-mana.

Saya rasa jika kita berusaha untuk menumbuhkan cinta dan belas kasih seperti ini, maka jika saatnya tiba bagi kita untuk meninggal, kita akan pergi dengan damai. Bahkan jika kita tidak berhasil 100 % dalam mencintai dengan sempurna, kita tetap dapat bahagia dan puas jika kita telah berusaha. Dan tentunya kita akan berhasil mencapai tingkat tertentu.

Cinta dalam kontek Buddhis disebut metta yang berarti ‘sesuatu yang dapat melembutkan hati seseorang, atau rasa persahabatan sejati’. Metta dirumuskan sebagai keinginan akan kebahagiaan semua makhluk tanpa kecuali. Cinta kasih dikatakan sebagai pikiran atau niat suci yang mengharapkan kesejahteraan dan kebahagiaan makhluk-makhluk lain, seperti seorang sahabat mengharapkan kesejahteraan dan kebahagiaan temannya.

B. Pacaran Sehat

Pacaran berasal dari kata pacar menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1991: 711) pacar berarti teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan cinta kasih. Badudu & Zain (1996: 971) pacar diartikan sebagai tunangan yang belum diresmikan. Pacaran identik dengan berpacaran yang berarti bercintaan, berkasih-kasihan. Hal mana tidak terlepas dari batasan-batasan pengertian cinta tersebut di atas. Pacaran sehat berarti menekankan pada hubungan lawan jenis berdasarkan cinta kasih secara sehat. Hal mana diwujudkan dalam bentuk berkencan. Tujuan dan alasan remaja berkencan diantaranya adalah untuk hiburan, sosialisasi, status, masa pacaran dan pemilihan teman hidup.

Banyak kawula muda lebih suka mempunyai pasangan tetap daripada berganti-ganti, karena hal ini memberi rasa aman, mengetahui selalu ada teman untuk mengikuti berbagai kegiatan sosial. Larson dkk (dalam Hurlock, 1999: 228) setelah mempelajari remaja laki-laki dan perempuan menyimpulkan bahwa remaja yang sedang siap untuk punya pasangan tetap tidak hanya mempunyai perasaan tidak aman tetapi mempunyai cita-cita pendidikan-pekerjaan lebih rendah dibanding dengan remaja yang belum mempunyai pasangan tetap pada usia dini.

Salah satu tugas perkembangan remaja adalah mencapai hubungan baru yang matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita. Hakekat tugas ini adalah mempelajari perempuan sebagai wanita dan laki-laki sebagai pria, menjadi orang dewasa belajar memimpin tanpa menekan. Secara biologis daya tarik sek menjadi suatu kebutuhan yang dominan dalam kehidupan remaja.

Pada kontek hubungan remaja pada dasarnya semua remaja menghendaki semua kebutuhan-kebutuhannya dapat terpenuhi secara wajar baik kebutuhan biologis, kebutuhan psikologis maupun kebutuhan sosiologis. Terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tersebut secara memadai akan mendatangkan keseimbangan dan keutuhan integritas pribadi, akan merasa gembira, harmoni, dan produktif. Dengan kata lain remaja yang segala kebutuhannya terpenuhi secara memadai akan memperoleh suatu kepuasan hidup (statisfaction).

Sebaliknya, jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi maka remaja akan mengalami kekecewaan (ketidak puasan), akan frustasi yang pada akhirnya akan mengganggu pada pertumbuhan dan perkembangannya. Dengan demikian, setiap tingkah laku remaja khususnya dan manusia pada umumnya selalu berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapainya. Apa yang hendak dicapai ialah dalam rangka memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang ada dalam dirinya. Dengan begitu antara motif, kebutuhan, dan tingkah laku berhubungan erat satu sama lainnya. Jika kebutuhan-kebutuhan itu tidak terpenuhi maka akan timbul kesulitan-kesulitan yang menyebabkan menjadi kecewa, frustasi, yang reaksi eksplosifnya dalam bentuk marah, menyerang orang lain, minum-minuman keras, narkotik, dan tingkah laku-tingkah laku negatif lainnya (Sugeng H. dkk.l995).

Karakteristik teman atau kawan dalam kontek Buddhis adalah dipandang sebagai sahabat yang berhati tulus yaitu sahabat yang suka menolong, sahabat diwaktu senang dan susah, sahabat yang suka memberikan nasehat yang baik dan sahabat yang selalu memperhatikan keadaanmu (Sigalovasa Sutta, Digha Nikaya III).

Sahabat yang suka menolong adalah ia akan menjaga dirimu ketika kamu sedang lengah, menjaga milikmu ketika kemu sedang tidak waspada, melindungi ketika sedang ketakutan, dan apabila kamu ingin melakukan sesuatu, ia akan membantu labih dari yang kamu butuhkan.

Seorang sahabat di waktu senang dan diwaktu susah menunjukan bahwa ia akan mempercayakan rahasianya kepadamu, juga menjaga rahasiamu. Apabila dalam keadaan kesulitan, ia tidak akan meninggalkanmu sendirian, bahkan rela mengorbankan dirinya untuk membelamu.

Sahabat yang suka memberikan nasehat yang baik ia akan mencegah kamu berbuat kesalahan, menganjurkan kamu berbuat baik, memberitahukan apa yang belum pernah kamu dengar, dan menunjukkan jalan ke surga.

Sahabat yang selalu memperhatikan keadaanmu, ia tidak bergembira melihat kamu mendapat bencana, turut gembira melihat keberhasilanmu, mencegah orang lain berbicara buruk tentang dirimu, menyetujui setiap orang yang memuji dirimu.

Memilih pacar atau teman sebagai seorang sahabat yang baik dan pada akhirnya akan dijadikan sebagai taman pendamping hidup hendaknya memperhatikan karakteristik seorang sahabat seperti yang disabdakan oleh Sang Buddha dalam Sigalovada Sutta. Dan orang bijaksana menganggap empat jenis manusia (sahabat) tersebut sebagai sahabat sejati dan wajib menjaganya dengan baik seperti seorang ibu menjaga anak kandungnya sendiri.

C. Perilaku Seks

Sikap baru terhadap perilaku sesksual pada remaja menunjukkan perubahan yang menonjol. Seperti di kemukakan oleh Hurlock (1999: 229) hubungan seks sebelum nikah dianggap “benar” apabila orang-orang terlibat saling mencintai dan saling terikat. Cinta dan seks memang dua hal yang berbeda, tapi keduanya mempunyai korelasi yang kuat.

Sebagai landasan dan pijakan perilaku seks generasi muda Buddhis berhubungan erat dengan sila. Sila mengisyaratkan suatu disiplin pribadi yang dikembangkan dari dalam, dan bukannya muncul dari rasa takut terhadap hukuman. la merupakan perbuatan yang berdasarkan motif-motif yang murni dan cinta kasih, kemerdekaan, dan kebijaksanaan, yang diperkuat dengan pengertian terhadap kepalsuan hakekat diri.

Perilaku tersebut ditafsirkan dalam empat penafsiran yaitu (1) menunjukkan sikap batin atau kehendak (cetana), (2) menunjukkan penginderaan (virati) yang merupakan unsur batin (cetasika), (3) menunjuk pada pengendalian diri (samvara), dan (4) menunjukkan tiada pelanggaran disiplin (atuaran) yang telah ditetapkan (avitikama).

Mencerminkan perilaku generasi muda Buddhis apabila perilaku tersebut menimbulkan harmoni dalam hati dan pikiran (samadhana), dan dapat mempertahankan kebaikan yang mendukung pencapaian batin luhur. Gambaran yang khas perilaku tersebut diwujutkan dalam bentuk ciri (lakkhana), fungsi (rasa), wujud (paccupatthana) dan sebab terdekat yang menimbulkannya (padatthana).

Ciri perilaku yang dimaksudkan adalah ketertiban dan ketenangan yang dipelihara dan dipertahankan dengan mengendalikan perbuatan jasmani, ucapan dan pikiran. Funsinya menghancurkan kelakuan yang salah dan menjga agar tidak tetap bersalah. Wujud dari perilaku yang dimaksudkan adalah kesucian, dalam bentuk perbuatan jasmaniah (kaya-soceyya), ucapan (vaci-soceyya) dan pikiran (mano-soceyya). Sebab yang terdekat yang menimbulkan perilaku yang diharapkan adalah adanya malu berbuat salah (hiri) dan takut akibat perbuatan salah (ottappa).

Tugas perkembangan remaja berhubungan dengan seks yang harus dikuasai adalah pembentukan hubungan baru yang lebih matang dengan lawan jenis. Standar perilaku seks generasi muda (remaja) Buddhis telah dijelaskan oleh sang Buddha dalam pancasila Buddhis. Beberapa batasan yang ditekankan oleh Sang Buddha berhubungan erat dengan masalah perilaku seks adalah sila ke tiga dari pancasila Buddhis yaitu kamesumicchacara.

Kamesumicchacara terdiri dari kosakata kama, miccha, dan cara. Kata miccha berarti 'salah' atau 'menyimpang', ‘cara’ berarti 'pelaksanaan' atau 'perilaku', ‘kamesu’ merupakan bentuk jamak dari kata kama pada kasus ketujuh menurut tata bahasa Pali, berarti 'nafsu atau kesenangan indriawi'. Ada lima kesenangan indria, yaitu: kesenangan indria mata, kesenangan indria telinga, kesenangan indria hidung, kesenangan indria lidah, kesenangan indria kulit (permukaan jasmaniah yang merasakan sentuhan).

Jadi kamesumicchacara berarti 'pemuasan nafsu indriawi yang menyimpang (dari yang dibenarkan)' atau dengan kata lain 'memuaskan nafsu indriawi secara salah'. Kesenangan indria kulit yang dirasakan melalui sentuhan dalam konteks kamesumiccha-cara diartikan sebagai hubungan kelamin. Oleh karena pemuasan indria kulit melalui sentuhan secara salah membawa akibat yang merugikan diri sendiri maupun orang lain dan mengganggu ketentraman masyarakat, maka pengertian kamesumicchacara ditekankan dan diartikan dengan 'melakukan hubungan kelamin yang salah' atau hubungan seksual yang salah.

Kamesumicchacara telah terjadi bila terdapat empat faktor yang terdiri dari:

a. orang yang tidak patut untuk disetubuhi (agamaniya-vatthu).

b. mmpunyai niat untuk menyetubuhi orang tersebut (tasmim sevacittam).

c. melakukan usaha untuk menyetubuhinya (sevanappayogo).

d. berhasil menyetubuhi (maggena muggapatipatti adhivasenam).

Mengenai orang yang tidak patut disetubuhi (agamaniya-vatthu) adalah wanita-wanita sebagai berikut:

1. di bawah perlindungan ibunya (maturakkhita).

2. di bawah perlindungan ayahnya (piturakkhita)

3. dalam perlindungan ayah dan ibunya (matupiturakkhita)

4. dalam perlindungan kakak perempuannya atau adik perempuannya (bhagini rakkhita).

5. dalam perlindungan kakak lelakinya atau dalam perawatan adik lelakinya (bhaturakkhita).

6. dalam perlindungan sanak-keluarganya (natirakkhita).

7. dalam perlindungan orang sebangsanya (gotarakkhitu).

8. dalam perlindungan pelaksana Dharma (dhammarakkhita).

9. yang sudah dipinang oleh raja atau orang-orang yang berkuasa (saparidanda).

10. yang sudah bertunangan (sarakkhita).

11. yang sudah dibeli oleh seorang lelaki, atau telah digadaikan oleh orang tuanya (dhanakkheta).

12. yang tinggal dengan lelaki yang dicintainya (chandavasini).

13. yang rela dikawini oleh lelaki karena mengharapkan harta benda (bhogavasini).

14. yang rela dikawini oleh lelaki karena mengharapkan sandang (patavasini).

15. resmi menjadi istri seorang lelaki dalam suatu upacara adat istiadat (odapattagini).

16. yang menjadi istri seorang lelaki yang membebaskannya dari perbudakan (asbhatasumbatta).

17. tawanan yang kemudian dikawini oleh seorang laki-laki (dhajahata).

18. pekerja yang dikawini oleh majikannya (kammakaribhariya).

19. budak yang dikawini oleh majikannya (dasibhariya).

20. yang menjadi istri seorang lelaki dalam jangka waktu tertentu (muhuttika).

Dari rincian di atas, kelihatan bahwa wanita dari 1 sampai dengan 8 yang belum mempunyai suami sesungguhnya mempunyai hak yang mutlak atas dirinya sendiri. Ibu dan sebagainya yang menjadi pelindung atau perawat itu tidaklah mempunyai hak atas dirinya, dalam arti bukan pemilik bagi tubuh dan batin serta kehidupannya. Apabila delapan jenis perempuan ini mencintai laki-laki bujangan dan rela menyerahkan dirinya, mereka tidaklah dapat dianggap melakukan perzinahan. Kendatipun demikian, perbuatan yang nekat semacam ini tentu merupakan suatu hal yang tidak bersesuaian dengan dhamma dan etika kemasyarakatan serta nilai-nilai kemanusiaan. Niscaya mereka akan menjadi bahan pergunjingan dan celaan. Kebahagiaan hidup berumah tangga kiranya juga sukar untuk dapat terwujud secara nyata apabila segalanya tidak berlangsung dengan wajar, umum, dan menurut kebiasaan. Dan 12 terakhir yang mulai dari saparidanta (9) hingga muhuttika (20) adalah wanita yang mempunyai suami tanpa mempersoalkan latar belakang wanita atau motivasi perkawinan mereka. Seseorang orang yang menyetubuhi salah satu dari 20 jenis wanita tersebut di atas berarti telah melakukan hubungan kelamin yang salah dan melanggar sila ketiga.

Perzinahan menimbulkan akibat pada pelakunya adalah sebagai berikut: mempunyai banyak musuh, dibenci orang banyak, sering diancam dan dicelakai, terlahir sebagai banci/waria atau wanita, mempunyai kelainan jiwa, diperkosa orang lain, sering mendapat aib/malu, tidur maupun bangun dalam keadaan gelisah, tidak begitu disenangi laki-laki dan perempuan, gagal dalam bercinta, sukar mendapat jodoh, tidak memperoleh kebahagiaan hidup berumah tangga, terpisah dari orang yang dicintai.

D. Melatih Disiplin Moral (Sila)

Dalam beberapa bagian Saçyutta Nikaya, Sang Buddha bersabda, "Sepertinya berwarna kuning keemasan, duhai Para siswa, adalah pertanda awal terbitnya sang matahari, demikian pula kesempurnaan sila, adalah pertanda awal bagi kemunculan Jalan Mulia Berfaktor Delapan ...Saya tidak melihat satupun hal lain yang menjadi sebab bagi kemunculan Jalan Mulia Delapan yang belun muncul, dan bagi perkembangan jalan mulia berfaktor delapan yang telah muncul, selain kesempumaan sila. ... Bergabung dengan tanah, biji-bijian tumbuh dan berkembang.

Demikian pula kemunculan dan perkembangan jalan mulia berfaktor delapan, bergantung pada kesempumaan sila. Silava Thera juga berujar dalam Theragatha, Khuddaka Nikaya "Sila adalah awal, landasan, sumber kemunculan dari segala macam kebijaksanaan, menjadi pemimpin bagi semua Dhamma, merupakan kekuatan yang tak tertandingi, sebagai senjata yang ampuh, sebagai perhiasan yang mulia, sebagai baju baja pelindung yang sangat menakjubkan, sebagai jembatan penyebrangan yang aman, sebagai penguasa, sebagai wewangian yang harum semarak, sebagai alat pemercantik yang indah, sebagai bekal perjalanan, sebagai wahana yang luhur. Karena itu, seseorang hendaknya membersihkan slla hingga suci. Pengendalian sila adalah pencegah kejahatan, yang membuat batin menjadi ceria, sebagai pelabuhan yang mengalir menuju samodra pembebasan, Nibbana."

Seseorang yang sempuma silanya niscaya bau wanginya menyebar hingga ke segala penjuru sebagaimana yang termaktub dalam Kitab Dhamapada 55/56, "Tidaklah seberapa harum baunya bunga tagara, kayu cendana, teratai ataupun melati hutan. Namun baunya mereka yang memiliki sila sangatlah harum hingga menyebar sampai ke alam Surga."

Tercantum pula dalam Jataka, Khuddaka Nikaya, suatu pitutuh Bodhisatva yang berbunyi: "Mantra atau aji-aji, kelahiran, dan teman kerabat tidaklah mungkin dapat memberikan kebahagian dialam mendatang (setelah kematian). Tetapi, sila seseorang yang tersucikan dengan baik niscaya akan memberikan kebahagian di alam mendatang."

E. Pahala dan Manfaat Sila

Dalam Dasakanipata, Aégutara Nikaya, Sang Buddha menjabarkan pahala, manfaat dan pelaksanaan sila yaitu: ketidak penyesalan (avippatisara). Ketakpenyesalan mempunyai kenaan (paramodaya) sebagai pahala dan manfaat. Keriaan mempunyai kegiuran (piti), sebagai pahala dan manfaat. Kegiuran mempunyai keheningan (passaddhi) sebagai pahala dan manfaat.

Keheningan mempunyai kebahagiaan (sukha) segaai pahala dan manfaat. Kebahagiaan mempunyai pemusatan (samadhi) sebagai pahala dan manfaat. Pemusatan mempunyai pengetahuan dan penglihatan atas segala sesuatu sebagaimana adanya (yathabhuta-nanadassana) sebagai pahala dan manfaat. Pengetahuan dan penglihatan atas segala sesuatu sebagaimana adanya mempunyai kejenuhan dan ketanpa-nafsuan (nibbida-viraga) sebagai pahala dan manfaat.

Kejenuhan dan ketanpa-nafsuan mempunyai pengetahuan dan penglihatan atas pembebasan sejati (vimutti-nanadassana) sebagai pahala dan manfaat.

Dalam Mahaparinibbana Sutta, Digha nikaya, Beliau mengungkapkan lima macam manfaat lain dari pelaksanaan sila, yaitu:

1. Memperoleh kekayaan

2. Kemashuran.

3. Tidak gentar atau takut dalam bergaul dengan segala lapisan masyarakat.

4. Dapat mengendalikan batinnya pada saat menjelang kematian.

5. Dan setelah kematian akan terlahir kembali di alam menyenangkan.

Manfaat sila yang lain ialah menjadi kecintaan makhluk lain sebagai awalnya. Ini selaras dengan yang di sabdakan oleh Sang Buddha Gotama dalam Akankheyya Sutta, Majjhima Nikaya, "Duhai para siswa, apabila seseorang siswa berharap semoga saya menjadi kecintaan, kesukaan, kehormatan. keterpujian bagi sahabat-sahabat sepenghidupan suci. Hendaknyalah ia menyempumakan silanya."

Theragatha, Khuddaka Nikaya, Silava Thera mengungkapkan "Orang bijak yang mendambakan tiga macam kebahagiaan, yaitu: Kemasyuran, kekayaan, dan kenikmatan di Alam Surga, hendaknya memelihara sila."

Daftar Pustaka:

Erich Fromm, 1983, Seni Mencinta (terjemahan), Sinar Harapan, Jakarta.

Hurlock, E.B, 1999, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, Erlangga, Jakarta.

Jan Sanjiwaputta. 1990, Mangala Berkah Utama, Lembaga Pelestari Dhamma, Bangkok.

Lembaga Penterjemah Kitab Suci Agama Buddha, 1983, Sutta Pitaka Digha Nikaya, Dirjend. Bimas Hindu dan Buddha, Jakarta.

Rita L. Atkinson, Richani C. Atkinson, Ernest R. Hilgairf, 1991, Pengantar Psikologi, Erlangga, Jakarta.

Rudi G., 2000, Mendobrak Tabu Sex Kebudayaan dan Kebejatan Manusia, Galang Press, Yogyakarta.

Sayekti, 1994, Bimbingan dan Konseling Keluarga, Menara Mas Offset, Yogyakarta.

Sugeng H. dkk, 1995, Perkembangan Peserta Didik, IKIP Semarang Press, Semarang.

Teja S.M. R., 1997, Sila dan Vinaya, Penerbit Buddhis Bodhi, Jakarta.

Ven. Visuddhacara, --, Loving and Dying, Malaysian Buddhist Meditation Centre Penang, Malaysia.

Woodward, F.L. (Transl.), 1975, The Minor Antalogies of the Pali Cannon, The Pali Text Society, London.

Selasa, 31 Maret 2009

sesungguhnya kita menghargai kehidupan dan nafas ini setiap saat, karena kehidupan ini pada substansinya bergantung pada pernafasan yang keluar masuk.